Sunday 31 December 2017

Kafarat Menyetubuhi Isteri Ketika Haid

Haid adalah darah yang keluar dari seorang wanita secara alami, tanpa suatu sebab dan pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan, baik bersamaan dengan kelahiran atau sebelumnya dua atau tiga hari yang disertai dengan rasa sakit (kontraksi).



Hukum darah nifas sebagaimana darah haid terhadap sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan baginya, serta yang mewajibkan dan menggugurkannya, sebagaimana gugurnya kewajiban shalat dan puasa, tidak dihalalkan bagi seorang suami menyetubuhinya hingga dirinya suci, wajib bersuci atau mandi bila telah berhenti masanya. Semua ini berlaku bagi wanita haid dan nifas.

Hukum menyetubuhi wanita yang haid atau nifas
Para ulama sepakat bahwa menyetubuhi isteri ketika haid atau nifas adalah haram, berdasarkan firman Allah:


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)

Ayat di atas menjelaskan perintah untuk menjauhi wanita yang sedang haid, maksudnya adalah larangan menyetubuhi wanita yang sedang haid, dan tidak ada salahnya bagi seorang suami berkumpul dengan isterinya yang sedang haid atau nifas dan boleh baginya melakukan apa saja selain bersetubuh, sebagaimana hadits berikut


عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى}وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ {إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَلَا نُجَامِعُهُنَّ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا فَسَقَاهُمَا فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا


Dari Anas bahwa apabila seorang wanita Yahudi haid, maka mereka tidak memberinya makan dan tidak mempergaulinya di rumah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Allah menurunkan; “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222) Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah”. Ketika hal itu sampai kepada Yahudi, mereka berkata, “Laki-laki ini tidak ingin

meninggalkan sesuatu dari perkara kita melainkan dia menyelisihi kita.” Lalu Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi berkata demikian dan demikian, maka kami tidak menyenggamai kaum wanita.” Raut wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah hingga kami mengira bahwa beliau telah marah pada keduanya, lalu keduanya keluar, keduanya pergi bertepatan ada hadiah susu yang diperuntukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Maka beliau kirim utusan untuk menyusul kepergian keduanya, dan beliau suguhkan minuman untuk keduanya. Keduanya pun sadar bahwa beliau tidak marah atas keduanya.”


Dari keterangan diatas menjadi jelas bahwa haram hukumnya seseorang menyetubuhi isterinya ketika haid atau nifas, namun mereka berbeda pendapat apakah wajib membayar kafarat (denda) ataukah tidak. diantara pendapat-pendapat mereka adalah

1. Wajib baginya memohon ampunan kepada Allah dan tidak mengulangi perbuatannya, serta tidak ada kewajiban baginya membayar kafarat, ini adalah pendapat Maliki, Syafi’i, Abu Hanifah, demikian pula pendapat Rabi’ah, Yahya bin Said dan Daud.

2. Wajib baginya bersedekah, ini adalah pendapat al Hasan dan Sa’id, akan tetapi keduanya berkata; “Memerdekakan budak diqiyaskan dengan seseorang yang jima’ di siang hari bulan Ramadhan.”

3. Imam Ahmad mengatakan ia wajib bersedekah satu dinar atau setengah dinar. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas. Beliau mengatakan; “Alangkah baiknya hadits Abdul Hamid dari Miqsam dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” Dalam riwayat lain beliau ditanya; “Apakah anda berpendapat seperti itu? Beliau menjawab; “Ya.”

4. Ath Thabari mengatakan bahwa dianjurkan baginya bersedekah satu atau setengah dinar, namun apabila tidak melakukannya maka tidak mengapa baginya, dan ini adalah pendapat imam As Syafi’I ketika di Baghdad.

5. Sekelompok Ahli hadits mengatakan jika dia menyetubuhinya pada saat darah masih keluar maka diwajibkan atasnya satu dinar dan jika dia menyetubuhinya setelah darah itu berhenti maka wajib atasnya setengah dinar. Mereka berhujjah dengan hadits mauquf berikut;

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِذَا أَصَابَهَا فِي الدَّمِ فَدِينَارٌ وَإِذَا أَصَابَهَا فِي انْقِطَاعِ الدَّمِ فَنِصْفُ دِينَارٍ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; apabila seseorang menggauli (istri)nya ketika haid maka ia bersedekah satu dinar, dan apabila menggaulinya ketika telah terhentinya darah haid (sebelum bersuci) maka ia bersedekah setengah dinar.

6. Al Auza’i berpendapat bahwa barangsiapa yang menyetubuhi istrinya dalam keadaan haid maka hendaklah dia bersedekah dengan 2/5 dinar. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas juga

وَرَوَى الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آمُرُهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِخُمْسَيْ
دِينَارٍ وَهَذَا مُعْضَلٌ

Dan diriwayatkan oleh Al-Auza’i dari Yazid bin Abu Malik dari Abdul Hamid bin Abdurrahman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Aku perintahkan dia untuk bersedekah dengan
dua perlima dinar”. Dan ini adalah hadits mu’dlal

Al Khithabi mengatakan; “kebanyakan para ulama berpendapat bahwa tidak mengapa baginya (tidak membayar kafarat) dan hendaknya ia meminta ampun kepada Allah, sebab mereka mengira bahwa hadits ini (hadits Ibnu Abbas) adalah mursal atau mauquf atas Ibnu Abbas, tidak shahih apabila dihukumi muttashil marfu’ (bersambung hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), kemudian aku mengetahui bahwa menyetubuhi istri pada kemaluannya dengan sengaja hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama. Kalau tetap menyetubuhinya, menurut Abu Hanifah, Malik, As Syafi’I dalam qaul jadid dan yang rajih dalam mazhabnya, Ahmad dalam salah satu riwayatnya menyatakan hendaknya ia meminta ampun kepada Allah dan bertaubat atas perbuatannya. Akan tetapi menurut As Syafi’I dianjurkan bersedekah dengan satu dinar apabila menyetubuhi ketika diawal-awal haid, dan setengah dinar ketika di akhir-akhir masa haidnya.

Pada dasarnya bagi seseorang yang menggauli istrinya dalam keadaan haid, hanya diwajibkan kepada dirinya untuk bertaubat dan beristighfar kepada Allah, tanpa harus mengeluarkan sedekah sebagai kafaratnya. Namun demi kehati-hatian, bagi seseorang yang telah menyetubuhi isterinya ketika haid atau nifas, disamping bertaubat kepada Allah, hendaklah dirinya berusaha mengeluarkan sedekahnya dengan satu atau setengah dinar sebagai kafaratnya jika Allah memberikan kelapangan rizki padanya.


Baca selanjutnya di:

http://kaifahal.com/kafarat-menyetubuhi-isteri-ketika-haid-2/

No comments:

Post a Comment